Single News

Semangat May Day, Aliansi Sumbawa Melawan Nyatakan Sikap

Sumbawa, 1 Mei 2025—Aliansi Sumbawa melawan, menggelar aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati hari Buruh Sedunia (May Day), Senin (05/05/2025).

Aksi ini bagian dari peringatan Hari Buruh Internasional sebagai momentum perlawanan untuk menuntut hak-hak buruh, rakyat, dan perempuan.

Massa aksi dalam pernyataan sikapnya menyoroti sejak disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja, bukannya membuka lapangan kerja, negara justru memberlakukan sistem kerja fleksibel yang merugikan.

Aturan ini menghapus batasan outsourcing, mengubah skema kerja kontrak, dan membuat buruh semakin rentan terhadap PHK.

Aliansi Sumbawa Melawan yang terdiri dari (SP Sumbawa, SMI, GMNI, BMI) konsisten dalam memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi rakyat. Persoalan rakyat mencerminkan kegagalan negara menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya.

Alih-alih melindungi dan mensejahterakan rakyat, negara justru mengesahkan kebijakan kontroversial seperti UU TNI yang tidak jelas urgensinya dan berpotensi menjadikan TNI alat politik kekuasaan.

Militerisme mengancam demokrasi dan kebebasan perempuan karena memperkuat struktur kekuasaan yang hierarkis, otoriter, dan patriarkal.

Disahkannya UU TNI melegalkan kembali Dwifungsi ABRI, membuka jalan bagi kontrol militer atas politik dan jabatan sipil, serta melemahkan peran rakyat.

“Ini menyulitkan aktivis perempuan dan memperkuat konstruksi gender yang menempatkan perempuan sebatas peran domestik,” sebut Atul, aktivis SP.

Pihaknya menyebut bahwa dominasi militer menyempitkan ruang partisipasi politik inklusif, menjauhkan perempuan dari pengambilan keputusan dan ruang publik.

Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 12(2) poin b, disebutkan bahwa setiap warga negara ikut menanggung biaya pendidikan, kecuali yang dibebaskan.

Ketentuan ini menunjukkan bagaimana negara perlahan melepaskan tanggung jawabnya, bertentangan dengan amanat UUD 1945 yang menegaskan bahwa pendidikan harus mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi tanggung jawab negara untuk membiayainya.

Pihaknya juga menyenyil Program Food Estate 1 juta ton jagung per tahun sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) berisiko mempercepat krisis iklim di Sumbawa.

Dampaknya mulai dirasakan melalui bencana alam seperti longsor, banjir, penurunan hasil panen, keterbatasan air, hingga kerusakan sarana dan prasarana.

Dalam situasi ini, perempuan menjadi kelompok paling rentan. Mereka harus memikul beban berlapis—menghadapi dampak bencana, mencari penghasilan tambahan, tetap menjalankan peran domestik, serta kehilangan akses pada pangan lokal yang menjadi sumber kehidupan utama mereka.

Akibat krisis iklim dan kehilangan lahan, dan sumber penghidupan, banyak perempuan terpaksa menjadi Buruh Migran. Mereka kerap mengalami penindasan, seperti over kontrak, kekerasan, beban kerja berat, upah tak dibayar, hingga pelecehan.

Salah satu kasus yang ditangani SP Sumbawa adalah AG, seorang pekerja migran yang telah meninggal, namun dokumen penting, emas, uang, dan barang-barangnya belum dikembalikan oleh agensi.

Berdasarkan situasi ini, Aliansi Sumbawa Melawan menyampaikan sejumlah tuntutan antara lain mendesak DPRD Sumbawa untuk mendorong dicabutnya UU TNI.

Mendesak Pemerintah Sumbawa menindaklanjuti penyelesaian 6 kasus Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sedang diadvokasi oleh SP Sumbawa.

Pemerintah Sumbawa wajib menolak Program Food Estate jagung karena mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, krisis iklim dan pemiskinan pada rakyat khususnya perempuan di Sumbawa. (LP)

Share Now