Labuhan Burung, di tepian Sumbawa —12 Mei 2025, Di sebuah desa yang bersandar pada bisik angin dan alunan ombak, seorang Kepala Desa bernama Iwan Iskandar Putra, atau yang disapa Iponk oleh rakyatnya, tak hanya memimpin dengan kata-kata, tetapi dengan getaran hati.



Ia berjalan bersama laut, bukan untuk menaklukkannya, melainkan untuk merawatnya—seperti seorang anak yang kembali ke pelukan ibunya.
Pagi itu, di bawah langit yang setia dan lautan yang menahan napasnya, Iponk dan warga desanya menanam harapan.
Bukan di ladang, tapi di kedalaman biru; bukan pohon, tapi terumbu karang—media kehidupan yang sunyi namun agung.
Enam titik kehidupan ditanam hari itu, enam doa dititipkan ke dasar samudra. Mereka menamai tempat itu Takat Belanda yang terbentuk dari pasir yang muncul dari dasar Samudera tidak jauh dari bibir pantai Desa Labuhan Burung—perairan yang akrab dengan napas tiga dusun: Bajo, Bugis, dan Selayar.
Di sanalah para tangan yang mencintai bumi bekerja dalam diam, menata ulang mozaik kehidupan laut yang mulai retak oleh waktu.
“Ini bukan tentang hari ini,” ujar Iponk dengan suara yang lirih namun dalam, “Ini tentang anak cucu yang belum lahir.
Tentang ikan yang belum berenang. Tentang karang yang belum tumbuh. Kita tanamkan hidup, agar esok tak menjadi gurun.”
Mereka tak datang dengan megafon atau sorotan kamera. Mereka datang dengan semangat gotong royong, seperti matahari yang setia menyapa bumi tiap pagi tanpa pernah menuntut pujian.
Iponk menyampaikan pesan penuh filosofi kehidupan dengan aksen Sumbawa yang puitis: “Pasang Totang Tode Mudi, Na Sanising Kami Bala.”
Yang berarti Pesan anak cucu kelak jangan warisi kami bencana, Yang dimaknai dengan kalimat hari ini kita menanam, besok kita petik, dan esok lusa kita wariskan.
Warga, Pokdarwis, Pokmaswas, dan para pemangku adat bekerja dalam diam yang agung.
Tubuh mereka basah, tetapi jiwa mereka bersih. Mereka tidak sedang melakukan proyek—mereka sedang menulis puisi dengan pasir dan karang, dengan cinta dan harapan.
Dan laut pun tahu, bahwa hari itu, manusia tak lagi datang untuk mengeruknya, melainkan untuk memeluknya.
Labuhan Burung bukanlah pusat dunia.
Tapi di sanalah dunia dipulihkan—sedikit demi sedikit, titik demi titik, cinta demi cinta. (ken kaniti—Wapimred Liputan Sumbawa)