Single News

Provinsi Pulau Sumbawa: Politik Rakyat atau Agenda Elit?

Miftahul Arzak
Direktur Lembaga Penelitian dan Konsultan MY Institute, serta Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Teknologi Sumbawa

Sejak Kamis, 15 Mei 2025, atas nama Masyarakat Pulau Sumbawa atau Kelompok Masyarakat yang menamakan diri sebagai Komite Percepatan Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP4S) menggelar aksi damai.

Aksi ini bertujuan mendesak pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat agar segera merealisasikan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa, sebuah wacana yang telah diperjuangkan sejak dua dekade silam.

Dukungan dari masyarakat pun cukup besar, meskipun tidak sedikit pula yang menyuarakan keraguan, bahkan penolakan terhadap rencana pemisahan Pulau Sumbawa dari Provinsi Nusa Tenggara Barat ini.

Beberapa tulisan dan percakapan lahir dari akademisi dan tokoh masyarakat yang mencurigai bahwa gerakan ini sekadar dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan tertentu.

Namun perlu dipahami, sebagaimana dikemukakan Miriam Budiardjo (2007), bahwa setiap keputusan yang menyangkut kepentingan publik pada hakikatnya adalah produk politik. Entah berasal dari elite partai, wakil rakyat, kepala daerah, atau bahkan dari inisiatif masyarakat sendiri, semua berproses dalam ruang politik. Maka, jika pembentukan provinsi ini kelak terwujud, tak bisa disangkal bahwa itu merupakan hasil dari kerja politik yang melibatkan banyak pihak.

Terutama saat ini isu pemekaran tidak hanya menjadi perbincangan masyarakat Pulau Sumbawa saja, melainkan beberapa daerah di Indonesia.

Pada pemberitaan Koran Kompas, Jum’at, 16 Mei 2025 yang berjudul “Ledakan Usulan Pemekaran Daerah” oleh Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014), Ketua Panja Karda (2010-2014) menunjukkan asa dari beberapa masyarakat Indonesia agar adanya pemerataan Pembangunan dan kemandirian di beberapa daerah dengan dibukanya keran pemekaran. Ini menunjukkan momentum pergerakan mendorong kembali pengajuan pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa, di momentum yang tepat, tidak salah alamat, dan jangan sampai tertinggal kereta lagi seperti di periode-periode yang lalu.

Pertanyaannya: salahkah jika rakyat juga turut menunggangi jalur politik, sama seperti para elit? Bukankah terbentuknya negara dan sistem pemerintahan juga merupakan hasil kolaborasi berbagai elemen bangsa? Yang patut dicermati adalah: apakah gerakan ini benar-benar lahir dari aspirasi rakyat, atau sekadar panggung bagi segelintir kelompok?

Untuk menjawab hal tersebut, MY Institute, sebuah lembaga riset dan konsultan menggelar survei pada 25 April hingga 1 Mei 2025 menggunakan pendekatan Double Sampling. Survei ini menggabungkan metode multistage random sampling untuk data tatap muka, yang kemudian disaring ulang melalui stratified random sampling untuk diwawancarai kembali. Sebanyak 400 responden terpilih secara proporsional dari lima wilayah Pulau Sumbawa: Kabupaten Sumbawa Barat (9%), Kabupaten Sumbawa (32,2%), Kabupaten Dompu (16%), Kabupaten Bima (33%), dan Kota Bima (9,8%), dengan representasi gender yang seimbang. Survei ini memiliki tingkat kepercayaan sebesar 95% dan margin of error ±5%.

Responden adalah warga berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah. Seluruh proses wawancara dilakukan oleh enumerator terlatih dan diawasi langsung oleh supervisor, dengan rekaman sebagai bagian dari kontrol kualitas.

Hasil survei menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) cukup tinggi. Sebanyak 82,5% responden menyatakan pernah mendengar isu ini. Dukungan terhadap PPS juga signifikan, dengan 78% responden menyatakan bahwa pembentukan provinsi baru ini memang diperlukan.

Alasan utama yang mendasari dukungan tersebut adalah harapan terhadap pemerataan pembangunan, kemandirian pengelolaan sumber daya alam, serta peningkatan eksistensi daerah di level nasional.

Menariknya, sebanyak 96,8% responden percaya bahwa pembentukan PPS akan mempercepat pembangunan wilayah.

Harapan akan tata kelola yang lebih efektif dan responsif menjadi alasan utama. Selain itu, 95,4% yakin PPS akan memperkuat pengelolaan sumber daya alam, dan 96,5% menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat akan meningkat secara signifikan jika provinsi baru terbentuk.

Di tengah kekhawatiran sebagian pihak, mayoritas responden tidak melihat PPS sebagai ancaman yang berpotensi menimbulkan konflik.

Sebanyak 78,5% menolak anggapan bahwa PPS akan menimbulkan konflik antar daerah di Pulau Sumbawa. Bahkan 82% meyakini bahwa hubungan dengan kabupaten/kota lain di NTB tidak akan terganggu dengan pembentukan provinsi baru ini.

Temuan ini sekaligus menjadi sinyal kuat kepada pemerintah daerah di Pulau Sumbawa agar bersatu dan kembali mengajukan usulan pembentukan provinsi ke pemerintah pusat.

Masyarakat berharap para pemimpin daerah kompak memperjuangkan aspirasi ini, sekaligus menyiapkan tata kelola pemerintahan yang adil, transparan, dan berpihak pada kesejahteraan bersama,

Secara umum, survei ini mengindikasikan bahwa ide pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa bukanlah sekadar isu politik belaka, melainkan cerminan nyata dari aspirasi rakyat.

Dengan dukungan kuat dan ekspektasi tinggi terhadap pembangunan yang lebih merata dan pengelolaan daerah yang mandiri, PPS kini berada pada momentum penting yang menanti respons konkret dari para pengambil kebijakan.

Share Now